Senin, 19 Oktober 2015

Cabang-cabang Kaidah Fiqh



BAB I 
 PENDAHULUAN

Kaidah secara bahasa adalah dasar. Dalam terminologi hukum fiqih adalah hukum yang bersifat global yang terkait dengan seluruh bagian atau mayoritas dari bagian itu untuk memahami hukum-hukum darinya. Dalam ilmu fiqih, seluruh bab-bab dalam kitab fiqih pada dasarnya mendasarkan diri pada kelima kaidah tersebut. Dari kelima kaidah ini terdapat cabang-cabang kaidah yang sesuai dengan kaidah utama. Kaidah utama disebut juga dengan Kaidah Fiqih Kubro (Kaidah Fikih Besar) sedangkan kaidah cabang disebut dengan Kaidah Fiqih Sughro (Kaidah Fiqih Kecil). Kaidah fiqih utama ada lima kaidah yaitu:


BAB II
PEMBAHASAN
1.     Kaidah Pertama: Segala Sesuatu Tergantung Tujuannya (اَلْأمُوْرُ بِمَقَا صِدِهَا)
Asal dari kaidah ini adalah hadits Nabi: إِنَّمَاالْأَعْمَلُ بِالنِّيَاتِ "Bahwasanya segala amal itu tergantung niat”. Bagi seseorang itu tergantung niatnya. Barangsiapa yang hijrahnya pada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya pada Allah dan Rasulnya. Barangsiapa yang hijrahnya untuk mencari dunia atau perempuan yang akan dinikahi maka hijrahnya adalah pada apa yang dituju."
Maksud dari hadits ini adalah bahwa perbuatan seorang muslim yang mukalaf dan berakal sehat baik dari segi perkataan atau perbuatan berbeda hasil dan hukum syariahnya yang timbul darinya karena perbedaan maksud dan tujuan orang tersebut di balik perbuatannya.
Sebagai contoh: Barangsiapa yang mengatakan pada yang lain "Ambillah uang ini", maka ia bisa saja berniat sedekah maka itu menjadi pemberian; atau niat menghutangkan, maka wajib dikembalikan; atau sebagai amanah, maka wajib menjaga dan mengembalikannya.

Cabang-cabang dari kaidah pertama ini yaitu:
1.      لَوْاخْتَلَفَ الْلِسَانُ وَالْقَلْبُ فَالْمُعْتَبَرُ مَا فِيْ الْقَلْبِ
Apabila berbeda antara apa yang di ucapkan dengan apa yang ada dalam hati (di niatkan), maka yang di anggap benar adalah apa yang ada dalam hati.
Contoh: Apabila dalam hati niat wudhlu, sedang yang dei ucapkan adalah mendinginkan anggota badan, maka wudhlunya tetap sah.
2.       لَايَلْزَمُ نِيَةُالْعِبَادَةِ فِيْ كُلَّ جُزْءٍ إِنَّمَا تَلْزَمُ فِيْ جُمْلَةٍ مَا يَفْعَلُهُ
Tidak wajib niat ibadah dalam setiap bagian, tetapi niat wajib dalam keseluruhan yang dikerjakan.
Contoh: Untuk sholat, cukup niat sholat, tidak berniat setiap perubahan rukunnya.
3.      كُلُّ مَا كَانَ لَهُ أَصْلٌ فَلَا يَنْتَقِلُ عَنْ أَصْلِهِ بِمُجَرَّدِ النِّيَةِ
Setiap perbuatan asal/ pokok, maka tidak bisa berpindah dari yang asal karena semata-mata niat.
Contoh: Seseorang niat sholat dzuhur, kemudian setelah satu rakaat dia berpindah kepada niat sholat tahiyyat al masjid, maka batal sholat dzuhurnya.[1]


2.     Kaidah Kedua: Kemudharatan Itu Dapat Hilang (الضَّرَرُ يُزَالُ)
Asal dari kaidah ini adalah hadits Nabi: La Darar wa La Dirar " لَاضَرَرُ وَلَاضِرَارَ". Darar adalah menimbulkan kerusakan pada orang lain secara mutlak. Sedangkan dirar adalah membalas kerusakan dengan kerusakan lain atau menimpakan kerusakan pada orang lain bukan karena balas dendam yang dibolehkan.
Yang dimaksud dengan tidak adanya dirar adalah membalas kerusakan (yang ditimpakan) dengan kerusakan yang sama. Kaidah ini meniadakan ide balas dendam. Karena hal itu akan menambah kerusakan dan memperluas cakupan dampaknya.
Contoh: Siapa yang merusak harta orang lain, maka bagi yang dirusak tidak boleh membalas dengan merusak harta benda si perusak. Karena hal itu akan memperluas kerusakan tanpa ada manfaatnya. Yang benar adalah si perusak mengganti barang atau harta benda yang dirusaknya.

Adapun cabang-cabang kaidah ini yaitu:
1.      الضَّرَرُ يُزَالُ بِقَدْرِ الْإِمْكَانِ
Kerusakan ditolak sebisa mungkin.
Contoh: Orang yang sedang kelaparan tidak boleh mengambil barang orang lain yang juga sedang kelaparan.
2.      الضَّرَرُ الْأَشَدُّ يُزَالُ بِالضَّرَرِ الْأَخَفِّ
Kerusakan yang parah dihilangkan dengan kerusakan yang lebih ringan.
Contoh: Apabila tidak ada yang mau mengajarkan agama, mengajarkan Al Qur’an dan Al Hadits dan ilmu yang berdasarkan agama kecuali digaji, maka boleh menggajinya.
3.      الضَّرَرُ   يُحْتَمَلُ الضّرَرُ الخَاصُ لِدَفْعِ الضَّرَرِ الْعَامِ
Kerusakan yang khusus ditangguhkan untuk menolak kerusakan yang umum. Contoh: Sanksi-sanksi yang diterapkan yang berhubungan dengan maksiat (kejahatan) baik berupa sanksi hudud, qishash, diyat, dan ta’zir, semuanya berkaitan dengan kaidah tersebut.
4.      الضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ الْمَخْظُوْرَاتِ
Kemudharatan itu membolehkan hal-hal yang dilarang.
Contoh: memukul orang yang akan merebut harta milik kita.
5.      يُحْتَمَلُ الضَّرَرُ الْخَاصِ لِأَجَلِ الضَّرَرِ الْعَامِ
Kemudharatan yang khusus boleh dilaksanakan demi menolak kemudharatan yang bersifat umum.
Contoh: Mempailitkan perusahaan demi menyelamatkan para nasabah.[2]

3.     Kaidah Ketiga: Tradisi  Itu Dapat Menjadi Hukum (الْعَادَةُ مُحَكَّمَةٌ)
Kaidah ini berasal dari teks (nash) Al-Quran. Kebiasaan (urf) dan tradisi (adat) mempunyai peran besar dalam perubahan hukum berdasarkan pada perubahan keduanya. Allah berfirman dalam QS Al-Baqarah 2:228  وَكَاثِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ "Dan pergauilah mereka (istri-istrimu) dengan cara yang ma’ruf (baik)." Tradisi atau adat menurut ulama fiqih adalah hal-hal yang terjadi berulang-ulang dan masuk akal menurut akal sehat yang dilakukan oleh sejumlah individu.
Adakah perbedaan antara uruf dan adat? Sebagian ulama berpendapat keduanya dua kata dengan satu arti. Sebagian ulama yang lain menganggapnya berbeda. Adat adalah sesuatu yang meliputi kebiasaan individu dan golongan. Sedangkan urf itu khusus untuk kebiasaan golongan saja.

Adapun cabang-cabang dari kaidah ini sebagai berikut:
1.      اِسْتِعْمَالُ النَّاسِ حُجَّةٌ يَجِبُ الْعَمَلُ بِهَا
Apa yang biasa diperbuat orang banyak adalah hujjah (alasan/argumen/dalil) yang wajib diamalkan..
Contoh: Menjahitkan pakaian kepada tukang jahit, sudah menjadi adat kebiasaan bahwa yang menyediakan benang, jarum, dan menjahitnya adalah tukang jahit.
2.      اِنَّمَا تُعْتَبَرُ الْعَادَةُ إِذَا اضْطَرَدَتْ وَغَلَبَتْ
Adat itu dianggap apabila dominan dan merata.
Contoh: Apabila seseorang berlangganan majalah, maka majalah itu diantar ke rumah pelanggan. Apabila pelanggan tidak mendapatkan majalah tersebut maka ia bisa komplain dan menuntutnya kepada agen majalah tersebut.
3.      الْعِبْرَةُ لِلْغَالِبِ الشَّاءِعِ لَا لِنَّادِرِ
Yang dianggap adalah yang umum dan populer bukan yang jarang.
Contoh: Para ulama berbeda pendapat tentang waktu hamil terpanjang, tetapi bila menggunakan kaidah diatas, maka waktu hamil terpanjang tidak akan melebihi satu tahun.
4.      الْحَقِيقَةُ تُتْرَكُ بِدَلَالَةِ الْعَادَةِ
Hakikat ditinggal karena dalil adat.
Contoh: Apabila si pembeli sudah menyerahkan tanda jadi (uang muka), maka berdasar adat kebiasaan, akad jual beli itu telah terjadi. Maka si penjual tidak bisa lagi membatalkan jual belinya meskipun harga barang naik.
5.      الْكِتَابُ كَالْخَطَابَ
Kitab atau tulisan itu sama dengan ucapan.
Contoh: Akta Kelahiran, Sertifikat Tanah.
6.      الْمَعْرُوْفُ عُرْفًا كَالْمَشْرُوْطِ شَرْطًا
Yang dikenal sebagai kebiasaan sama dengan syarat.
Contoh: Apabila orang bergotong royong membangun rumah yatim piatu, maka berdasarkan adat kebiasaan, orang-orang yang bergotong royong itu tidak dibayar. Jadi tidak bisa menuntut bayaran.
7.      التّعْيِيْنُ بِالْعُرْفِ كَالتَّعْيِيْنِ بِالنَّاصِ
Menentukan dengan urf (kebiasaan) sama dengan menentukan dengan nash.
Contoh: Apabila seseorang menyewa rumah atau toko tanpa menjelaskan siapa yang bertempat tinggal di rumah atau toko tersebut, maka si penyewa bisa memanfaatkan rumah tersebut tanpa mengubah bentuk rumah kecuali dengan izin orang yang menyewakan.
8.      الْمُمْتَنَعُ عَادَةً كَالْمُمْتَنَعِ حَقِيْقَةً
Seseuatu yang tidak berlaku berdasarkan adat kebiasaan seperti yang tidak berlaku dalam kenyatan.
Contoh: Seseorang yang mengaku bahwa harta yang ada pada orang lain adalah harta miliknya, tetapi dia tidak bisa menjelaskan dari mana asal harta tersebut.

4.      Kaidah Keempat: Kesulitan Menimbulkan Kemudahan (الْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرُ)
Imam As-Syatibi dalam Al-Muwafaqat I/231 menyatakan: "Dalil-dalil yang meniadakan dosa (dalam situasi darurat) bagi umat mencapai tingkat pasti." Allah berfirman dalam QS An-Nisa' 4:28  يُرِيْدُ اللّٰهٗ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ "Allah hendak memberikan keringanan kepadamu ..." dan "Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu" (QS Al-Baqarah 2:185).
Nabi bersabda dan hadits Sahih Bukhari no. 39 "Sesungguhnya agama itu mudah. Tidaklah seseorang mempersulit (berlebih-lebihan) dalam agama melainkan ia akan dikalahkan. Oleh karena itu kerjakanlah dengan semestinya, atau mendekati semestinya dan bergembiralah (dengan pahala Allah) dan mohonlah pertolongan di waktu pagi, petang dan sebagian malam."
Maksud dari kaidah ini adalah bahwa hukum-hukum yang menimbulkan kesulitan dalam mengamalkannya bagi diri seorang mukalaf atau hartanya, maka syariah meringankan hukum itu sesuai kemampuannya tanpa kesulitan atau dosa.

Berikut cabang-cabang dari kaidah ini yaitu:
1.      إِذَا ضَاقَ الْأَمْرُ اِتَّسَعَ
Apabila sempit, maka ia menjadi luas.
Contoh: Boleh berbuka puasa pada bulan Ramadhan karena sakit atau berpergian jauh. Sakit dan berpergian jauh merupakan suatu kesempitan, maka hukumnya menjadi luas yaitu kebolehan berbuka. Akan tetapi, bila orang sakit itu sembuh kembali, maka hukum wajib melakukan puasa itu kembali pula.
2.      مَالَايُمْكِنُوْ التَّحَرُزْ مِنْهُ مَعْفُوْ عَنْهُ 
Apa yang tidak mungkin menjaganya (menghindarkannya), maka hal itu dimaafkan.
Contoh: Pada waktu berpuasa, kita berkumur-kumur, maka tidak mungkin terhindar dari rasa air di mulut atau masih ada sisa-sisa.
Sesuatu yang dibolehkan karena darurat, maka dibolehkan sekadarnya
3.      مَاجَازَ لِعُذْرٍ بَطَلَ بِزَوَالِهِ
Sesuatu yang boleh karena udzur, maka batal karena hilangnya udzur.
Contoh: Wanita yang sedang menstruasi dilarang sholat dan puasa. Larangan tersebut menjadi hilang bila menstruasinya berhenti.
4.      الرُّخْصَ لَا تُنَاطُ بِالْمَعَصِي
Keringanan itu tidak dikaitkan dengan kemaksiatan.
Contoh: Orang berpergian untuk berjudi kehabisan uang dan kelaparan kemudian makan daging babi, maka orang ini tidak bisa diberi keringanan, tetapi justru malah berdosa.
5.      إِذَا تَعَذَّرَ إِعْمَالُ الْكَلَامِ يُهْمَلُ
Apabila sulit mengamalkan suatu perkataan, maka perkataan tersebut ditinggalkan.
Contoh: Apabila seorang menuntut warisan dan mengaku bahwa dia adalah anak dari orang yang meninggal, kemudian setelah diteliti akta kelahirannya, ternyata dia lebih tua dari orang yang meninggal. Maka perkataan orang tersebut tidak diakui perkataannya.
6.      يُغْتَفَرُ فِي الدَّوَامِ مَا لَا يُغْتَفَرُ فِي الإٍبْتِدَاءِ
Bisa dimaafkan pada kelanjutan perbuatannya dan tidak bisa dimaafkan pada permulaanya.
Contoh: Orang yang menyewa rumah yang diharuskan membayar uang muka. Apabila sudah habis waktu penyewaan dan ia ingin melanjutkan sewaannya maka ia tidak perlu membayar uang muka lagi.
7.      يُغْتَفَرُ فِي التَّوَابِعِ مَالَا يُغْتَفَرُ فِي غَيْرِهَا
Dapat dimaafkan dalam hal mengikuti dan tidak dimaafkan pada yang lainnya.
Contoh: Penjual boleh menjual kembali karung bekas tempat beras, karena karung mengikuti pada beras yang dijual.
8.      إِذَا تَعَذَّرَ الْأَصْلُ يُصَارُ إِلَى الْبَدَلِ
Apabila udzur pada yang asal, maka dialihkan pada pengganti.
Contoh: Tayamum sebagai pengganti wudhlu.[3]

5.     Kaidah Kelima: Yakin Tidak Hilang Karena Adanya Keraguan (اَلْيَقِيْنُ لَا يُزَالُ بِالشَّكِ)
            Kaidah ini menjelaskan adanya kemudahan dalam syariah Islam. Tujuannya adalah menetapkan sesuatu yang meyakinkan dianggap sebagai hal yang asal dan dianggap. Dan bahwa keyakinan menghilangkan keraguan yang sering timbul dari was-was terutama dalam masalah kesucian dan shalat. Keyakinan adalah ketetapan hati berdasarkan pada dalil yang pasti, sedangkan keraguan adalah kemungkinan terjadinya dua hal tanpa ada kelebihan antara keduanya. Hadits Nabi mengatakan:
دَعْ مَا يُرِيْبُكَ إِلَى مَالَا يُرِيْبُكَ “tinggalkanlah apa yang meragukanmu, berpindahlah pada yang tidak meragukanmu.”
Maksudnya adalah bahwa perkara yang diyakini adanya tidak bisa dianggap hilang kecuali dengan dalil yang pasti dan hukumnya tidak bisa berubah oleh keraguan. Begitu juga perkara yang diyakini tidak adanya maka tetap dianggap tidak ada dan hukum ini tidak berubah hanya karena keraguan (antara ada dan tiada). Karena ragu itu lebih lemah dari yakin, maka keraguan tidak dapat merubah ada dan tidak adanya sesuatu.
Kaidah ini masuk dalam mayoritas bab fiqih seperti bab ibadah, muamalah, uqubah (sanksi) dan keputusan. Karena itu, ada yang mengatakan bahwa kaidah ini mengandung 3/4 (tiga perempat) ilmu fiqih.
Cabang-cabang kaidah  ini sebagai berikut:
1.      الْيَقِيْنُ يُزَالُ بِالْيَقِيْنِ مِثْلِهِ
Apa yang yakin bisa hilang karena adanya bukti lain yang meyakinkan pula.
Contoh: Si A berhutang pada si B, si A punya bukti telah membayar hutangnya dengan bukti kwitansi yang ditanda tangani si B. Maka, si A yang tadinya hutang sekarang sudah bebas dari hutangnya.
2.      أَنَّ مَا ثَبَتَ بِيَقِيْنٍ لَا يُرْتَفَعُ إِلَّا بِيَقِيْنٍ
Apa yang ditetapkan dasar atas dasar keyakinan tidak bisa hilang kecuali dengan keyakinan lagi.
Contoh: Thawaf ditetapkan dengan dasar dalil 7 putaran, namun ada seseorang ragu apakah yang dilakukannya putaran keenam atau kelima. Maka yang meyakinkan adalah putaran kelima. Jadi dalam hal bilangan, apabila seseorang ragu maka bilangan yang terkecil itulah yang meyakinkan.
3.      الْٰأَصْلُ بَرَاءَةُ الذِمَّةِ
Hukum asal adalah bebasnya seseorang dari tanggung jawab.
Contoh: Anak kecil lepas tanggung jawab melakukan kewajibannya sampai datangnya waktu baligh.
4.      الْٰأَصْلُ بَقَاءُ مَاكَانَ عَلَى مَاكَانَ مَالَمْ يَكُنْ مَا يُغَيِّرُهُ
Hukum asal itu tetap dalam keadaan tersebut selama tidak ada hal lain yang mengubahnya.
Contoh: Seseorang yang memegang jabatan hilang lagi tanggung jawabnya apabila pensiun atau diberhentikan jabatannya.
5.      الْأَصْلُ فِى كُلِّ حَادِثٍ تَقْدِيْرُهُ بِأَقْرَبِ زَمَنِهِ
Hukum asal dalam segala peristiwa adalah terjadi pada waktu yang paling dekat kepadanya.
Contoh: Seorang wanita yang sedang mengandung, ada yang memukul perutnya, kemudian keluarlah bayi dalam keadaan hidup dan sehat. Selang beberapa bulan, bayi itu meninggal. Maka meninggalnya si bayi tidak disandarkan pada pemukulan yang terjadi, melainkan disebabkan hal lain yang merupakan waktu yang paling dekat pada kematiannya.
6.      الْأَصْلُ فِى الْأَشْيَاءِ الْإِبَاحَةُ حَتَّى يَدُلَّ الدَّلِيْلُ عَلَى التَّحْرِيْمِ
Hukum asal dari segala sesuatu adalah boleh menurut mayoritas ulama.
Contoh: Apabila ada binatang yang belum ada dalil yang tegas tentang keharamannya, maka hukumnya boleh dimakan.
7.      الْأَصْلُ فِى الْكَلَامِ الْحَقِيْقَةُ
Hukum asal dari suatu kalimat adalah arti yang sebenarnya.
Contoh: Apabila seseorang berkata: “Saya mau mewakafkan harta saya kepada anak Kyai Ahmad. Maka anak dalam kalimat tersebut adalah anak yang sesungguhnya, bukan anak pungut dan bukan pula cucu.
8.      لَاعِبْرَةَ بِالظَّنِّ الَّذِيْ يَظْهَرُ خَطَاءُهُ
Tidak dianggap (diakui), persangkaan yang jelas salahnya.
Contoh: Seorang debitur telah membayar hutangnya kepada kreditur, kemudian wakil debitur membayar lagi hutang debitur atas sangkaan bahwa hutang belum dibayar oleh debitur, maka wakil debitur tadi berhak meminta dikembalikan uang yang dibayarkannya tadi.
9.      لَاعِبْرَةَ لِلتَّوَهُّمِ
Tidak diakui adanya waham (kira-kira).
Contoh: Apabila seseorang meninggal, meninggalkan sejumlah ahli waris, maka harta warisan dibagikan di antara mereka.
10.  مَا ثَبَتَ بِزَمَنٍ يُحْكَمُ بَبَقَاءِهِ مَا لَمْ يَقُمْ الدَلِيْلُ عَلَى خِلَافِهِ
Apa yang ditetapkan berdasarkan waktu, maka hukumnya ditetapkan berdasarkan berlakunya waktu tersebut selama tidak ada dalil yang bertentangan dengannya.
Contoh: Seseorang yang berpergian jauh, tidak ada kabar beritanya, maka orang tersebut dinyatakan masih hidup sampai ada bukti meyakinkan bahwa dia telah meninggal.[4]












BAB III
PENUTUP

            Qawaid fiqhiyah merupakan himpunan sejumlah masalah yang meliputi hukum-hukum fiqh yang berada di bawah cakupannya semata. Penggunaan masing-masing kaidah tersebut selalu berkaitan, tidak dapat berdiri sendiri. Kaidah Pokok Qawaid Fiqhiyah sendiri dibagi menjadi lima, serta masing-masing kaidah mempunyai cabang-cabangnya tersendiri.
Berikut kelima kaidah tersebut:
1.      Segala Sesuatu Tergantung Tujuannya (اَلْأمُوْرُ بِمَقَا صِدِهَا)
2.      Kemudharatan Itu Dapat Hilang (الضَّرَرُ يُزَالُ)
3.      Tradisi  Itu Dapat Menjadi Hukum (الْعَادَةُ مُحَكَّمَةٌ)
4.      Kesulitan Menimbulkan Kemudahan (الْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرُ)
5.      Yakin Tidak Hilang Karena Adanya Keraguan (اَلْيَقِيْنُ لَا يُزَالُ بِالشَّكِ)
Pentingnya qawaid fiqhiyah karna kaidah fiqh ini merupakan media bagi peminat fiqh Islam dalam menguasai Maqashid Syariah, dan juga merupakan cakupan persoalan yang sudah maupun belum terjadi. Tujuan mempelajari kaidah fiqh itu untuk mempermudah dalam mengetahui prinsip-prinsip umum fiqh dan sebagainya.



DAFTAR PUSTAKA

Djazuli, A. 2006. Kaidah-kaidah Fikih. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
http//: google.com// Kaidah-kaidah Fikih


[1] A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006. Hal. 40-41
[2] A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006. Hal.  75-79
[3] A. Djazuli, Ibid, hlm. 61-62
[4] A. Djazuli, Ibid, hlm. 48-54

4 komentar: