BAB I
PENDAHULUAN
Kaidah secara bahasa adalah dasar. Dalam terminologi hukum fiqih adalah
hukum yang bersifat global yang terkait dengan seluruh bagian atau mayoritas
dari bagian itu untuk memahami hukum-hukum darinya. Dalam ilmu fiqih, seluruh
bab-bab dalam kitab fiqih pada dasarnya mendasarkan diri pada kelima kaidah
tersebut. Dari kelima kaidah ini terdapat cabang-cabang kaidah yang sesuai
dengan kaidah utama. Kaidah utama disebut juga dengan Kaidah Fiqih Kubro
(Kaidah Fikih Besar) sedangkan kaidah cabang disebut dengan Kaidah Fiqih Sughro
(Kaidah Fiqih Kecil). Kaidah fiqih utama ada lima kaidah yaitu:
BAB II
1. Kaidah Pertama: Segala
Sesuatu Tergantung Tujuannya (اَلْأمُوْرُ بِمَقَا صِدِهَا)
Asal dari kaidah ini
adalah hadits Nabi: إِنَّمَاالْأَعْمَلُ بِالنِّيَاتِ "Bahwasanya segala amal itu tergantung niat”. Bagi seseorang itu
tergantung niatnya. Barangsiapa yang hijrahnya pada Allah dan Rasul-Nya, maka
hijrahnya pada Allah dan Rasulnya. Barangsiapa yang hijrahnya untuk mencari dunia
atau perempuan yang akan dinikahi maka hijrahnya adalah pada apa yang
dituju."
Maksud dari hadits ini adalah bahwa perbuatan seorang muslim yang mukalaf
dan berakal sehat baik dari segi perkataan atau perbuatan berbeda hasil dan
hukum syariahnya yang timbul darinya karena perbedaan maksud dan tujuan orang tersebut
di balik perbuatannya.
Sebagai contoh: Barangsiapa yang mengatakan pada yang lain "Ambillah
uang ini", maka ia bisa saja berniat sedekah maka itu menjadi pemberian;
atau niat menghutangkan, maka wajib dikembalikan; atau sebagai amanah, maka
wajib menjaga dan mengembalikannya.
Cabang-cabang dari kaidah pertama ini yaitu:
1. لَوْاخْتَلَفَ الْلِسَانُ وَالْقَلْبُ فَالْمُعْتَبَرُ مَا
فِيْ الْقَلْبِ
Apabila berbeda antara apa yang di ucapkan dengan apa
yang ada dalam hati (di niatkan), maka yang di anggap benar adalah apa yang ada
dalam hati.
Contoh: Apabila dalam hati niat wudhlu, sedang yang
dei ucapkan adalah mendinginkan anggota badan, maka wudhlunya tetap sah.
2. لَايَلْزَمُ نِيَةُالْعِبَادَةِ
فِيْ كُلَّ جُزْءٍ إِنَّمَا تَلْزَمُ فِيْ جُمْلَةٍ مَا يَفْعَلُهُ
Tidak wajib niat ibadah
dalam setiap bagian, tetapi niat wajib dalam keseluruhan yang dikerjakan.
Contoh: Untuk sholat,
cukup niat sholat, tidak berniat setiap perubahan rukunnya.
3. كُلُّ مَا كَانَ لَهُ أَصْلٌ فَلَا يَنْتَقِلُ عَنْ أَصْلِهِ
بِمُجَرَّدِ النِّيَةِ
Setiap perbuatan asal/ pokok, maka tidak bisa
berpindah dari yang asal karena semata-mata niat.
Contoh: Seseorang niat sholat dzuhur, kemudian setelah
satu rakaat dia berpindah kepada niat sholat tahiyyat al masjid, maka
batal sholat dzuhurnya.[1]
2. Kaidah Kedua: Kemudharatan
Itu Dapat Hilang (الضَّرَرُ يُزَالُ)
Asal dari kaidah ini adalah hadits Nabi: La Darar wa La Dirar "
لَاضَرَرُ وَلَاضِرَارَ". Darar adalah menimbulkan kerusakan pada orang
lain secara mutlak. Sedangkan dirar adalah membalas kerusakan dengan
kerusakan lain atau menimpakan kerusakan pada orang lain bukan karena balas
dendam yang dibolehkan.
Yang dimaksud dengan tidak adanya dirar adalah membalas kerusakan
(yang ditimpakan) dengan kerusakan yang sama. Kaidah ini meniadakan ide balas
dendam. Karena hal itu akan menambah kerusakan dan memperluas cakupan
dampaknya.
Contoh: Siapa yang merusak harta orang lain, maka bagi yang dirusak tidak
boleh membalas dengan merusak harta benda si perusak. Karena hal itu akan
memperluas kerusakan tanpa ada manfaatnya. Yang benar adalah si perusak
mengganti barang atau harta benda yang dirusaknya.
Adapun cabang-cabang kaidah ini yaitu:
1. الضَّرَرُ يُزَالُ بِقَدْرِ الْإِمْكَانِ
Kerusakan ditolak
sebisa mungkin.
Contoh: Orang yang
sedang kelaparan tidak boleh mengambil barang orang lain yang juga sedang
kelaparan.
2. الضَّرَرُ الْأَشَدُّ يُزَالُ بِالضَّرَرِ الْأَخَفِّ
Kerusakan yang parah dihilangkan
dengan kerusakan yang lebih ringan.
Contoh: Apabila tidak
ada yang mau mengajarkan agama, mengajarkan Al Qur’an dan Al Hadits dan ilmu
yang berdasarkan agama kecuali digaji, maka boleh menggajinya.
3. الضَّرَرُ يُحْتَمَلُ
الضّرَرُ الخَاصُ لِدَفْعِ الضَّرَرِ الْعَامِ
Kerusakan yang khusus
ditangguhkan untuk menolak kerusakan yang umum. Contoh: Sanksi-sanksi yang
diterapkan yang berhubungan dengan maksiat (kejahatan) baik berupa sanksi
hudud, qishash, diyat, dan ta’zir, semuanya berkaitan dengan kaidah tersebut.
Kemudharatan itu
membolehkan hal-hal yang dilarang.
Contoh: memukul orang
yang akan merebut harta milik kita.
5. يُحْتَمَلُ الضَّرَرُ الْخَاصِ لِأَجَلِ الضَّرَرِ الْعَامِ
Kemudharatan yang
khusus boleh dilaksanakan demi menolak kemudharatan yang bersifat umum.
Contoh: Mempailitkan
perusahaan demi menyelamatkan para nasabah.[2]
3. Kaidah Ketiga:
Tradisi Itu Dapat Menjadi Hukum (الْعَادَةُ مُحَكَّمَةٌ)
Kaidah ini berasal dari teks (nash) Al-Quran. Kebiasaan (urf)
dan tradisi (adat) mempunyai peran besar dalam perubahan hukum
berdasarkan pada perubahan keduanya. Allah berfirman dalam QS Al-Baqarah 2:228 وَكَاثِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ "Dan pergauilah
mereka (istri-istrimu) dengan cara yang ma’ruf (baik)." Tradisi atau adat
menurut ulama fiqih adalah hal-hal yang terjadi berulang-ulang dan masuk akal
menurut akal sehat yang dilakukan oleh sejumlah individu.
Adakah perbedaan antara uruf dan adat? Sebagian ulama berpendapat keduanya
dua kata dengan satu arti. Sebagian ulama yang lain menganggapnya berbeda. Adat
adalah sesuatu yang meliputi kebiasaan individu dan golongan. Sedangkan urf itu
khusus untuk kebiasaan golongan saja.
Adapun cabang-cabang dari kaidah ini sebagai berikut:
1. اِسْتِعْمَالُ النَّاسِ حُجَّةٌ يَجِبُ الْعَمَلُ بِهَا
Apa yang biasa
diperbuat orang banyak adalah hujjah (alasan/argumen/dalil) yang wajib
diamalkan..
Contoh: Menjahitkan
pakaian kepada tukang jahit, sudah menjadi adat kebiasaan bahwa yang
menyediakan benang, jarum, dan menjahitnya adalah tukang jahit.
2. اِنَّمَا تُعْتَبَرُ الْعَادَةُ إِذَا اضْطَرَدَتْ وَغَلَبَتْ
Adat itu dianggap
apabila dominan dan merata.
Contoh: Apabila
seseorang berlangganan majalah, maka majalah itu diantar ke rumah pelanggan.
Apabila pelanggan tidak mendapatkan majalah tersebut maka ia bisa komplain dan
menuntutnya kepada agen majalah tersebut.
3. الْعِبْرَةُ لِلْغَالِبِ الشَّاءِعِ لَا لِنَّادِرِ
Yang dianggap adalah
yang umum dan populer bukan yang jarang.
Contoh: Para ulama
berbeda pendapat tentang waktu hamil terpanjang, tetapi bila menggunakan kaidah
diatas, maka waktu hamil terpanjang tidak akan melebihi satu tahun.
4. الْحَقِيقَةُ تُتْرَكُ بِدَلَالَةِ الْعَادَةِ
Hakikat ditinggal
karena dalil adat.
Contoh: Apabila si
pembeli sudah menyerahkan tanda jadi (uang muka), maka berdasar adat kebiasaan,
akad jual beli itu telah terjadi. Maka si penjual tidak bisa lagi membatalkan
jual belinya meskipun harga barang naik.
5. الْكِتَابُ كَالْخَطَابَ
Kitab atau tulisan itu
sama dengan ucapan.
Contoh: Akta Kelahiran,
Sertifikat Tanah.
6. الْمَعْرُوْفُ عُرْفًا كَالْمَشْرُوْطِ شَرْطًا
Yang dikenal sebagai
kebiasaan sama dengan syarat.
Contoh: Apabila orang
bergotong royong membangun rumah yatim piatu, maka berdasarkan adat kebiasaan,
orang-orang yang bergotong royong itu tidak dibayar. Jadi tidak bisa menuntut
bayaran.
7. التّعْيِيْنُ بِالْعُرْفِ كَالتَّعْيِيْنِ بِالنَّاصِ
Menentukan dengan urf
(kebiasaan) sama dengan menentukan dengan nash.
Contoh: Apabila
seseorang menyewa rumah atau toko tanpa menjelaskan siapa yang bertempat
tinggal di rumah atau toko tersebut, maka si penyewa bisa memanfaatkan rumah
tersebut tanpa mengubah bentuk rumah kecuali dengan izin orang yang menyewakan.
8. الْمُمْتَنَعُ عَادَةً كَالْمُمْتَنَعِ حَقِيْقَةً
Seseuatu yang tidak
berlaku berdasarkan adat kebiasaan seperti yang tidak berlaku dalam kenyatan.
Contoh: Seseorang yang
mengaku bahwa harta yang ada pada orang lain adalah harta miliknya, tetapi dia
tidak bisa menjelaskan dari mana asal harta tersebut.
4. Kaidah Keempat: Kesulitan
Menimbulkan Kemudahan (الْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرُ)
Imam As-Syatibi dalam Al-Muwafaqat I/231 menyatakan: "Dalil-dalil yang
meniadakan dosa (dalam situasi darurat) bagi umat mencapai tingkat pasti."
Allah berfirman dalam QS An-Nisa' 4:28 يُرِيْدُ اللّٰهٗ بِكُمُ
الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ "Allah hendak
memberikan keringanan kepadamu ..." dan "Allah menghendaki kemudahan
bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu" (QS Al-Baqarah 2:185).
Nabi bersabda dan hadits Sahih Bukhari no. 39 "Sesungguhnya agama itu
mudah. Tidaklah seseorang mempersulit (berlebih-lebihan) dalam agama melainkan
ia akan dikalahkan. Oleh karena itu kerjakanlah dengan semestinya, atau
mendekati semestinya dan bergembiralah (dengan pahala Allah) dan mohonlah pertolongan
di waktu pagi, petang dan sebagian malam."
Maksud dari kaidah ini adalah bahwa hukum-hukum yang menimbulkan kesulitan
dalam mengamalkannya bagi diri seorang mukalaf atau hartanya, maka syariah
meringankan hukum itu sesuai kemampuannya tanpa kesulitan atau dosa.
Berikut cabang-cabang dari kaidah ini yaitu:
1. إِذَا ضَاقَ الْأَمْرُ اِتَّسَعَ
Apabila sempit, maka ia
menjadi luas.
Contoh: Boleh berbuka
puasa pada bulan Ramadhan karena sakit atau berpergian jauh. Sakit dan
berpergian jauh merupakan suatu kesempitan, maka hukumnya menjadi luas yaitu
kebolehan berbuka. Akan tetapi, bila orang sakit itu sembuh kembali, maka hukum
wajib melakukan puasa itu kembali pula.
2. مَالَايُمْكِنُوْ التَّحَرُزْ مِنْهُ مَعْفُوْ عَنْهُ
Apa yang tidak mungkin
menjaganya (menghindarkannya), maka hal itu dimaafkan.
Contoh: Pada waktu
berpuasa, kita berkumur-kumur, maka tidak mungkin terhindar dari rasa air di
mulut atau masih ada sisa-sisa.
Sesuatu yang dibolehkan
karena darurat, maka dibolehkan sekadarnya
3. مَاجَازَ لِعُذْرٍ بَطَلَ بِزَوَالِهِ
Sesuatu yang boleh
karena udzur, maka batal karena hilangnya udzur.
Contoh: Wanita yang
sedang menstruasi dilarang sholat dan puasa. Larangan tersebut menjadi hilang
bila menstruasinya berhenti.
4. الرُّخْصَ لَا تُنَاطُ بِالْمَعَصِي
Keringanan itu tidak dikaitkan dengan kemaksiatan.
Contoh: Orang berpergian untuk berjudi kehabisan uang
dan kelaparan kemudian makan daging babi, maka orang ini tidak bisa diberi
keringanan, tetapi justru malah berdosa.
5. إِذَا تَعَذَّرَ إِعْمَالُ الْكَلَامِ يُهْمَلُ
Apabila sulit mengamalkan suatu perkataan, maka
perkataan tersebut ditinggalkan.
Contoh: Apabila seorang menuntut warisan dan mengaku
bahwa dia adalah anak dari orang yang meninggal, kemudian setelah diteliti akta
kelahirannya, ternyata dia lebih tua dari orang yang meninggal. Maka perkataan
orang tersebut tidak diakui perkataannya.
6. يُغْتَفَرُ فِي الدَّوَامِ مَا لَا يُغْتَفَرُ فِي الإٍبْتِدَاءِ
Bisa dimaafkan pada
kelanjutan perbuatannya dan tidak bisa dimaafkan pada permulaanya.
Contoh: Orang yang
menyewa rumah yang diharuskan membayar uang muka. Apabila sudah habis waktu
penyewaan dan ia ingin melanjutkan sewaannya maka ia tidak perlu membayar uang
muka lagi.
7.
يُغْتَفَرُ فِي التَّوَابِعِ
مَالَا يُغْتَفَرُ فِي غَيْرِهَا
Dapat dimaafkan dalam hal mengikuti dan tidak
dimaafkan pada yang lainnya.
Contoh: Penjual boleh menjual kembali karung bekas
tempat beras, karena karung mengikuti pada beras yang dijual.
8. إِذَا تَعَذَّرَ الْأَصْلُ يُصَارُ إِلَى الْبَدَلِ
Apabila udzur pada yang
asal, maka dialihkan pada pengganti.
Contoh: Tayamum sebagai
pengganti wudhlu.[3]
5. Kaidah Kelima: Yakin
Tidak Hilang Karena Adanya Keraguan (اَلْيَقِيْنُ لَا يُزَالُ بِالشَّكِ)
Kaidah ini menjelaskan adanya kemudahan dalam syariah Islam. Tujuannya adalah menetapkan sesuatu yang meyakinkan dianggap sebagai hal yang asal dan dianggap. Dan bahwa keyakinan menghilangkan keraguan yang sering timbul dari was-was terutama dalam masalah kesucian dan shalat. Keyakinan adalah ketetapan hati berdasarkan pada dalil yang pasti, sedangkan keraguan adalah kemungkinan terjadinya dua hal tanpa ada kelebihan antara keduanya. Hadits Nabi mengatakan: دَعْ مَا يُرِيْبُكَ إِلَى مَالَا يُرِيْبُكَ “tinggalkanlah apa yang meragukanmu, berpindahlah pada yang tidak meragukanmu.”
Kaidah ini menjelaskan adanya kemudahan dalam syariah Islam. Tujuannya adalah menetapkan sesuatu yang meyakinkan dianggap sebagai hal yang asal dan dianggap. Dan bahwa keyakinan menghilangkan keraguan yang sering timbul dari was-was terutama dalam masalah kesucian dan shalat. Keyakinan adalah ketetapan hati berdasarkan pada dalil yang pasti, sedangkan keraguan adalah kemungkinan terjadinya dua hal tanpa ada kelebihan antara keduanya. Hadits Nabi mengatakan: دَعْ مَا يُرِيْبُكَ إِلَى مَالَا يُرِيْبُكَ “tinggalkanlah apa yang meragukanmu, berpindahlah pada yang tidak meragukanmu.”
Maksudnya adalah bahwa perkara yang diyakini adanya tidak bisa dianggap
hilang kecuali dengan dalil yang pasti dan hukumnya tidak bisa berubah oleh
keraguan. Begitu juga perkara yang diyakini tidak adanya maka tetap dianggap
tidak ada dan hukum ini tidak berubah hanya karena keraguan (antara ada dan
tiada). Karena ragu itu lebih lemah dari yakin, maka keraguan tidak dapat
merubah ada dan tidak adanya sesuatu.
Kaidah ini masuk dalam mayoritas bab fiqih seperti bab ibadah, muamalah,
uqubah (sanksi) dan keputusan. Karena itu, ada yang mengatakan bahwa kaidah ini
mengandung 3/4 (tiga perempat) ilmu fiqih.
Cabang-cabang kaidah ini sebagai
berikut:
1. الْيَقِيْنُ يُزَالُ بِالْيَقِيْنِ مِثْلِهِ
Apa yang yakin bisa hilang karena adanya bukti lain
yang meyakinkan pula.
Contoh: Si A berhutang pada si B, si A punya bukti
telah membayar hutangnya dengan bukti kwitansi yang ditanda tangani si B. Maka,
si A yang tadinya hutang sekarang sudah bebas dari hutangnya.
2. أَنَّ مَا ثَبَتَ بِيَقِيْنٍ لَا يُرْتَفَعُ إِلَّا بِيَقِيْنٍ
Apa yang ditetapkan
dasar atas dasar keyakinan tidak bisa hilang kecuali dengan keyakinan lagi.
Contoh: Thawaf
ditetapkan dengan dasar dalil 7 putaran, namun ada seseorang ragu apakah yang
dilakukannya putaran keenam atau kelima. Maka yang meyakinkan adalah putaran
kelima. Jadi dalam hal bilangan, apabila seseorang ragu maka bilangan yang
terkecil itulah yang meyakinkan.
3. الْٰأَصْلُ بَرَاءَةُ الذِمَّةِ
Hukum asal adalah bebasnya
seseorang dari tanggung jawab.
Contoh: Anak kecil
lepas tanggung jawab melakukan kewajibannya sampai datangnya waktu baligh.
4. الْٰأَصْلُ بَقَاءُ مَاكَانَ عَلَى مَاكَانَ مَالَمْ يَكُنْ
مَا يُغَيِّرُهُ
Hukum asal itu tetap dalam keadaan tersebut selama tidak
ada hal lain yang mengubahnya.
Contoh: Seseorang yang memegang jabatan hilang lagi
tanggung jawabnya apabila pensiun atau diberhentikan jabatannya.
5. الْأَصْلُ فِى كُلِّ حَادِثٍ تَقْدِيْرُهُ بِأَقْرَبِ زَمَنِهِ
Hukum asal dalam segala
peristiwa adalah terjadi pada waktu yang paling dekat kepadanya.
Contoh: Seorang wanita
yang sedang mengandung, ada yang memukul perutnya, kemudian keluarlah bayi
dalam keadaan hidup dan sehat. Selang beberapa bulan, bayi itu meninggal. Maka
meninggalnya si bayi tidak disandarkan pada pemukulan yang terjadi, melainkan
disebabkan hal lain yang merupakan waktu yang paling dekat pada kematiannya.
6. الْأَصْلُ فِى الْأَشْيَاءِ الْإِبَاحَةُ حَتَّى يَدُلَّ
الدَّلِيْلُ عَلَى التَّحْرِيْمِ
Hukum asal dari segala
sesuatu adalah boleh menurut mayoritas ulama.
Contoh: Apabila ada
binatang yang belum ada dalil yang tegas tentang keharamannya, maka hukumnya
boleh dimakan.
7. الْأَصْلُ فِى الْكَلَامِ الْحَقِيْقَةُ
Hukum asal dari suatu kalimat adalah arti yang
sebenarnya.
Contoh: Apabila seseorang berkata: “Saya mau
mewakafkan harta saya kepada anak Kyai Ahmad. Maka anak dalam kalimat tersebut
adalah anak yang sesungguhnya, bukan anak pungut dan bukan pula cucu.
8. لَاعِبْرَةَ بِالظَّنِّ الَّذِيْ يَظْهَرُ خَطَاءُهُ
Tidak dianggap
(diakui), persangkaan yang jelas salahnya.
Contoh: Seorang debitur
telah membayar hutangnya kepada kreditur, kemudian wakil debitur membayar lagi
hutang debitur atas sangkaan bahwa hutang belum dibayar oleh debitur, maka
wakil debitur tadi berhak meminta dikembalikan uang yang dibayarkannya tadi.
9. لَاعِبْرَةَ لِلتَّوَهُّمِ
Tidak diakui adanya waham (kira-kira).
Contoh: Apabila seseorang meninggal, meninggalkan
sejumlah ahli waris, maka harta warisan dibagikan di antara mereka.
10. مَا ثَبَتَ بِزَمَنٍ يُحْكَمُ بَبَقَاءِهِ مَا لَمْ يَقُمْ
الدَلِيْلُ عَلَى خِلَافِهِ
Apa yang ditetapkan berdasarkan waktu, maka hukumnya
ditetapkan berdasarkan berlakunya waktu tersebut selama tidak ada dalil yang
bertentangan dengannya.
Contoh: Seseorang yang berpergian jauh, tidak ada
kabar beritanya, maka orang tersebut dinyatakan masih hidup sampai ada bukti
meyakinkan bahwa dia telah meninggal.[4]
BAB III
PENUTUP
Qawaid
fiqhiyah merupakan himpunan sejumlah masalah yang meliputi hukum-hukum fiqh
yang berada di bawah cakupannya semata. Penggunaan masing-masing kaidah tersebut selalu berkaitan, tidak dapat
berdiri sendiri. Kaidah Pokok Qawaid Fiqhiyah sendiri dibagi menjadi
lima, serta masing-masing kaidah mempunyai cabang-cabangnya tersendiri.
Berikut kelima kaidah tersebut:
1. Segala Sesuatu
Tergantung Tujuannya (اَلْأمُوْرُ بِمَقَا صِدِهَا)
2.
Kemudharatan Itu Dapat Hilang (الضَّرَرُ يُزَالُ)
3.
Tradisi Itu Dapat Menjadi Hukum (الْعَادَةُ مُحَكَّمَةٌ)
4.
Kesulitan Menimbulkan Kemudahan (الْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرُ)
5. Yakin Tidak Hilang
Karena Adanya Keraguan (اَلْيَقِيْنُ لَا يُزَالُ
بِالشَّكِ)
Pentingnya qawaid fiqhiyah karna kaidah fiqh ini merupakan media bagi
peminat fiqh Islam dalam menguasai Maqashid Syariah, dan juga merupakan cakupan
persoalan yang sudah maupun belum terjadi. Tujuan mempelajari kaidah fiqh itu
untuk mempermudah dalam mengetahui prinsip-prinsip umum fiqh dan sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Djazuli, A. 2006. Kaidah-kaidah Fikih. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group
http//: google.com// Kaidah-kaidah Fikih